Pedagang
Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan
yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah
kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah
tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda
dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan
pada umumnya.
Sebenarnya
istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan colonial Belanda. Peraturan
pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun
hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan
adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Sekian puluh
tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki
banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah
pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika
merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Dalam
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki
Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha
perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak,
menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan
bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak
menetap.
Menurut McGee dan Yeung (1977), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan ‘hawkers’,
yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk
dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Senada dengan hal
itu, Soedjana (1981) mendefinisikan PKL sebagai sekelompok orang yang
menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/di pinggir
jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan,
pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah
menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi,
siang, sore maupun malam hari.
Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan
keberadaan dan kebutuhhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya
difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang
menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak
terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu menjadi
obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan kota
berkesan semrawut.
Studi
menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai
status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan
kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban
atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor
informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih
dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi
lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda
pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro
sosio-ekonomi.
Terbatasnya
dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang
berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal
karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak
dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL
adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga
menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi
pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah
kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor
dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat
menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya.
Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak
morfologi dan estetika kota.
PKL atau
dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam
sektor informal. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan
Indonesia seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan,
seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka
berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan,
bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang
ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan
kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem).
Upaya
penertiban, sebagaimana sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir
dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan
komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa.
Pada hal, sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten,
keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata
di tengahtengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian
dari solusi (part of solution).
Seperti yang
sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering
dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun
tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu
kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan
tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga
kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat
golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih
mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal
tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative lebih independent atau
tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih
mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.
Bukti-bukti
tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu
pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis
ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL
mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.
Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri disebutkan bahwa tujuan penataan dan
pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan
berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan
dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh
dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman
dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.
Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan
Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya
masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41 tahun
2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya
sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat
kegiatan usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial,
budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan
lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan
lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah
dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan
batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk
melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha;
fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan
kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan
dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL
yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dilakukan oleh
gubernur.
Dalam melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota
dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate
Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha
PKL; peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan
bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan
berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih
tertib, bersih, indah dan nyaman.
NAMA : ASWAR
NIM : 01113120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar