Kegiatan impor merupakan salah satu kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh setiap negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Impor pada
dasarnya menunjukkan bahwa setiap negara itu tidak bisa hidup sendiri, ia
layaknya seperti manusia memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
Impor juga menunjukkan bahwa setiap negara memiliki kelemahan dalam memenuhi
kebutuhannya sehingga mau tidak mau harus membeli dari negara lain.
Sampai saat ini, kegiatan impor juga masih dilakukan
oleh Indonesia, khususnya impor beras. Impor sama dengan membeli hanya saja
uangnya masuk pendapatan negara lain. Impor beras Indonesia masih mengimpor
dari negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Baru-baru ini seperti yang
diberitakan oleh kompas.com menyebutkan bahwa Indonesia masih mengimpor beras,
padahal produksi padi Indonesia mengalami surplus. Dalam hal ini, di kalangan
pemerintah, terutama di kemeterian pertanian saling lempar tanggung jawab.
Beberapa bulan yang lalu, saat Hatta rajasa masih menjabat sebagai
menkoperekonomian, beliau menyebutkan bahwa soal impor beras merupakan wewenang
dari kementerian pertanian (kementan) sehingga tampak beliau tidak mampu
menjawab soal impor beras ini.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono menilai Indonesia
masih masuk dalam negara kategori surplus beras. Mengutip Angka Ramalan (ARAM)
I yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), hingga saat ini produksi gabah
kering giling (GKG) berada pada kisaran 70 juta ton. Jumlah itu setara dengan
40 juta ton beras. Kebutuhan beras kita 33-34 juta ton, jadi kalau dihitung,
kita masih surplus beras, kata Suswono di kantornya, Senin (18/8).
Menurutnya, rata-rata peningkatan produksi padi per
tahun sebesar 2,6 persen. Pada 2009, produksi GKG sebanyak 64,4 juta ton,
sedangkan pada 2013 naik menjadi 71,29 juta ton. Untuk jagung,
rerata produksi meningkat 1,39 persen per tahun. Pada 2009 produksi jagung
tercatat 17,63 juta ton dan tahun 2013 meningkat 18,51 juta ton.
Impor beras Indonesia secara historis memang sering
mengalami surplus, tetapi jumlah permintaan beras melebihi surplus tersebut.
Terbukti bahwa Indonesia menempati urutan pertama negara konsumen beras
terbesar Konsumsi beras Indonesia mencapai 102 kg/kepita/tahun. Tingkat
konsumsi tersebut melebihi konsumsi beras negara Asia, seperti Korea yang hanya
60 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, Tahiland 70 kg/kapita/tahun, dan
Malaysia sebesar 80 kg/kapita/tahun. Perbedaan ini tentu masih dapat dimaklumi
karena memang Indonesai masih menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok.
Desakan impor tersebut pada dasarnya bertujuan agar kuota beras akhir tahun
Indonesia masih mencukupi maka mau tidak mau pemerintah harus megimpor beras.
Beberapa tahun ini, Indonesia terjerat desakan impor beras ke Vietnam yang
ternyata diselewengkan oleh oknum importir. Tentu, dalam kasus ini pun,
di kementerian pertanian, BULOG, dan pemerintah sendiri masih saling lempar
tanggung jawab.
Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan
lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam
negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan
adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor
pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan
musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat
untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem
pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula
terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan
karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan
pada waktu itu menurun.
Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat
secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena
tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman.
Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil
produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas
lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi
lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun
1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di
Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama
dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha
di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti
dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan
Indonesia terhadap beras impor.
Dengan demikian, impor adalah sebuah keniscayaan sebab
jumlah permintaan yang jauh melampaui stok yang ada. Ini memerlukan usaha keras
dari tingkat petani hingga pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan produksi
beras kedepan.
NAMA :
RAHMA
NIM :
01.11.3138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar