Kamis, 29 Januari 2015

KETIKA INDONESIA SURPLUS BERAS, MASIH HARUSKAH KITA MENGIMPOR BERAS?



Kegiatan impor merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh setiap negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Impor pada dasarnya menunjukkan bahwa setiap negara itu tidak bisa hidup sendiri, ia layaknya seperti manusia memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Impor juga menunjukkan bahwa setiap negara memiliki kelemahan dalam memenuhi kebutuhannya sehingga mau tidak mau harus membeli dari negara lain.
Sampai saat ini, kegiatan impor juga masih dilakukan oleh Indonesia, khususnya impor beras. Impor sama dengan membeli hanya saja uangnya masuk pendapatan negara lain. Impor beras Indonesia masih mengimpor dari negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Baru-baru ini seperti yang diberitakan oleh kompas.com menyebutkan bahwa Indonesia masih mengimpor beras, padahal produksi padi Indonesia mengalami surplus. Dalam hal ini, di kalangan pemerintah, terutama di kemeterian pertanian saling lempar tanggung jawab. Beberapa bulan yang lalu, saat Hatta rajasa masih menjabat sebagai menkoperekonomian, beliau menyebutkan bahwa soal impor beras merupakan wewenang dari kementerian pertanian (kementan) sehingga tampak beliau tidak mampu menjawab soal impor beras ini.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono menilai Indonesia masih masuk dalam negara kategori surplus beras. Mengutip Angka Ramalan (ARAM) I yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), hingga saat ini produksi gabah kering giling (GKG) berada pada kisaran 70 juta ton. Jumlah itu setara dengan 40 juta ton beras. Kebutuhan beras kita 33-34 juta ton, jadi kalau dihitung, kita masih surplus beras, kata Suswono di kantornya, Senin (18/8).
Menurutnya, rata-rata peningkatan produksi padi per tahun sebesar 2,6 persen. Pada 2009, produksi GKG sebanyak 64,4 juta ton, sedangkan pada 2013 naik menjadi 71,29 juta ton.   Untuk jagung, rerata produksi meningkat 1,39 persen per tahun. Pada 2009 produksi jagung tercatat 17,63 juta ton dan tahun 2013 meningkat 18,51 juta ton.
Impor beras Indonesia secara historis memang sering mengalami surplus, tetapi jumlah permintaan beras melebihi surplus tersebut. Terbukti bahwa Indonesia menempati urutan pertama negara konsumen beras terbesar Konsumsi beras Indonesia mencapai 102 kg/kepita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut melebihi konsumsi beras negara Asia, seperti Korea yang hanya 60 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, Tahiland 70 kg/kapita/tahun, dan Malaysia sebesar 80 kg/kapita/tahun. Perbedaan ini tentu masih dapat dimaklumi karena memang Indonesai masih menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Desakan impor tersebut pada dasarnya bertujuan agar kuota beras akhir tahun Indonesia masih mencukupi maka mau tidak mau pemerintah harus megimpor beras. Beberapa tahun ini, Indonesia terjerat desakan impor beras ke Vietnam yang ternyata diselewengkan oleh oknum importir.  Tentu, dalam kasus ini pun, di kementerian pertanian, BULOG, dan pemerintah sendiri masih saling lempar tanggung jawab.
Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Dengan demikian, impor adalah sebuah keniscayaan sebab jumlah permintaan yang jauh melampaui stok yang ada. Ini memerlukan usaha keras dari tingkat petani hingga pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan produksi beras kedepan.


NAMA                 : RAHMA
NIM                    : 01.11.3138
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar