CUACA buruk seolah menghantam industri pariwisata dalam setahun terakhir.
Belum rampung menghadapi kebijakan pemerintah yang melarang rapat di hotel,
kini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 91 Tahun 2015
tentang Tarif Batas Bawah Tiket Pesawat Terbang untuk Rute Domestik. Hingga
saat ini memang banyak kalangan yang tidak setuju dengan revisi tarif batas
bawah itu.
Tapi Kementerian Perhubungan tidak bergeming. Bahkan Institusi yang
dipimpin oleh Ignasius Jonan mengaku tarif batas bawah yang besarnya 40 persen
dari batas atas itu sudah resmi berlaku 1 Januari 2015. Artinya kini maskapai
tidak bisa lagi menawarkan tiket promo. Regulasi baru itu dibuat oleh Kemenhub
pada akhir bulan Desember. Tepatnya setelah insiden jatuhnya AirAsia QZ8501
jurusan Surabaya-Singapura.
Setelah revisi, pada tanggal 30 Desember 2014, aturan itu langsung dikirim
ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Saat itu juga, menteri Hukum dan
HAM (Menkumham) langsung membubuhkan tanda tangan tanda persetujuan. Dan mulai
diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2015. Salah satu alasan revisi aturan itu
adalah agar maskapai lebih meningkatkan aspek keselamatan penerbangan.
Diubahnya tarif batas bawah itu terbilang tidak tepat sasaran. Seolah LCC
menjadi penyebab utama jatuhnya maskapai asal Prancis itu. Padahal aspek
keselamatan penerbangan tidak ada hubungannya dengan low cost carrier (LCC)
atau penerbangan murah. Sebab penerbangan murah merupakan penerbangan yang
dirancang seefisien mungkin namun tidak mengurangi aspek keselamatan
penerbangan (lihat grafis).
Pertanyaan itu diamini oleh Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Kemenhub JA
Barata. Saat dihubungi kemarin (10/1), Barata mengaku tidak ada yang keliru
dengan penerbangan murah ketika ditanya soal apa yang salah pada LCC. Dia juga
menolak anggapan insiden jatuhnya AirAsia QZ8501 di Selat Karimata pada 28
Desember 2014 menjadi pemicu direvisinya aturan tarif batas bawah.
Mantan juru bicara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) itu
menyampaikan perubahan sudah jauh-jauh hari direncanakan. ”Jadi bukan kami
reaktif, tidak,” paparnya. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh JA Barata
dan Direktur Angkutan Udara Kemenhub, Mohammad Alwi pada tanggal 8 Januari
lalu, keduanya menyampaikan beberapa alasan mengapa tarif batas bawah
penerbangan harus dinaikkan.
Di antaranya kenaikan itu diharapkan bisa membuat maskapai mendapatkan
pemasukan lebih dan pemasukan itu digunakan untuk meningkatkan keselamatan.
Dalam hal ini Kemenhub menuding airlines yang mempunyai LCC kurang
memperhitungkan faktor keselamatan. Alasan yang lain yaitu tingginya nilai
tukar dolar AS terhadap rupiah.
Sehingga, Kemenhub memprediksi jika tarif batas bawah tidak dinaikkan maka
maskapai tidak bisa mencukupi kebutuhan seperti sewa pesawat udara, premi
asuransi, gaji awak kabin, gaji teknisi, dan biaya BBM serta perawatan pesawat.
Barata mengatakan maskapai sangat perlu menjaga maintenance.
Menurut dia, sebagian besar komponen pesawat seperti mesin, servis pesawat
atau pemenuhan komponen lain pembeliannya menggunakan dolar bukan rupiah.
Selain itu, biaya operasional seperti sewa pesawat juga menggunakan mata uang
dolar AS. ”Langkah ini juga berfungsi menjaga kesehatan keuangan airlines,”
terangnya. Namun, perlu disadari kurs mata uang bisa turun dan naik.
Tergantung kondisi ekonomi dunia. Seperti halnya harga minyak dunia.
Sehingga bisa saja minggu depan nilai tukar rupiah kembali menguat. Menanggapi
itu, Barata mengatakan jika kurs rupiah menguat, maka peraturan itu bisa
ditinjau ulang secara proporsional. Artinya batasan tarif batas bawah 40 persen
dari batas atas itu bisa kembali direvisi. ”Bisa direvisi tergantung kurs,”
jelasnya
Banyak yang beranggapan penetapan kebijakan baru tersebut tanpa
mempertimbangkan daya beli masyarakat Indonesia. Pasalnya sampai kini, masih
banyak masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang mengandalkan tiket murah dan
tiket promo untuk bepergian. Selain itu, alasan Kemenhub lain yang membuat
publik geram yaitu mereka membandingkan pesawat dengan kereta api.
Barata mengatakan sudah sewajarnya pesawat lebih malah. Dia mencontohkan
penerbangan Jakarta-Surabaya yang ditempuh dengan waktu satu jam. Menurut dia
tiket pesawat full service Jakarta-Surabaya Rp 1,5 juta. ”Kalau LCC kan cuma Rp
600 ribu. Artinya bersaing dengan kereta api. Hampir sama,” jelasnya. Alasan
Barata itu dinilai kurang tepat
Pasalnya seharusnya pemerintah memfasilitasi semua warganya untuk mampu
naik pesawat terbang. Sebenarnya dengan naik pesawat terbang masyarakat sudah
mengeluarkan uang transportasi tambahan. Karena bandara selalu terletak di
pinggir kota. Sehingga untuk sampai ke sana membutuhkan biaya. Berbeda dengan
stasiun kereta api atau terminal bus yang ada di tengah kota.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi menilai kebijakan
Jonan sebagai langkah mundur industri penerbangan nasional. Pasalnya sejak KPPU
membuka monopoli industri penerbangan pada tahun 2000, tarif pesawat bisa
diturunkan hingga 50 persen. ”Sekarang malah ada upaya dari pemerintah untuk
menaikkan tarif maskapai. Ini kan kontraproduktif dengan upaya kami,” ujarnya.
Dia menceritakan, dulu langit Indonesia hanya dikuasai oleh dua maskapai
yaitu Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara Airlines (MNA). Tarif penerbangan
saat itu sangat mahal mencapai Rp 2 juta per penumpang. Hanya orang kaya yang
mampu naik pesawat. ”Tapi sejak monopoli berhasil kami buka, masuklah banyak maskapai
swasta sehingga persaingan berjalan efektif. Tarif langsung turun 50 persen,”
tambahnya.
Namun dia khawatir penetapan tarif batas bawah yang dibuat Menhub justru
memicu tarif penerbangan kembali naik. Logikanya maskapai LCC akan mematok
tarif penerbangan di kisaran tarif batas bawah yang sudah dipatok pemerintah.
Sementara maskapai yang tadinya bergerak di level itu memilih naik ke harga di
atasnya. ”Namanya juga medium berarti dia harus di tengah-tengah,” ujarnya.
Dalam hal ini yang dirugikan adalah konsumen alias masyarakat luas. Sebab
yang seharusnya bisa menikmati tarif yang murah, terpaksa membayar lebih mahal.
Padahal satu sen uang konsumen itu bisa menjadi pundi-pundi kekayaan bagi
maskapai jika jumlah penumpangnya jutaan. ”Ini kan sama saja transfer kekayaan
dari konsumen ke maskapai,” ungkapnya.
Nawir menilai, konsumen pada dasarnya memiliki hak penuh untuk memilih
penerbangan yang disukainya. Apakah yang nyaman dengan harga mahal, atau yang
kurang nyaman tetapi tetap aman. ”Itu hak konsumen jangan dirampas. Biarkan
mereka memilih. Masalah standar keselamatan itu kan sudah ada aturannya
sendiri, itu yang harusnya diawasi oleh pemerintah supaya maskapai patuh,”
sambungnya.
Menurut dia, keputusan Kemenhub itu sangat tergesa-gesa tanpa memikirkan
dampaknya yang sangat besar terhadap masyarakat luas. Kebijakan itu juga akan
menghilangkan kompetisi yang fair antarmaskapai. ”Harusnya Menhub tidak
mengurusi masalah bisnis sejauh itu. Kalau tarif batas atas memang kami izinkan
karena ada beberapa rute yang hanya ada 1-2 maskapai, jangan sampai mereka
naikkan tarif seenaknya,” jelasnya.
Ketua Asosiasi Tour dan Travel Agensi Indonesia (Asita) Asnawi Bahar, tidak
menampik ada dampak negatif kebijakan kontroversial Kemenhub itu. “Pengaruh ke
paket-paket tur yang mendatangkan wisatawan, kebijakan tarif ini berbahaya
karena mempersulit penetapan paket tur,” tuturnya kemarin (10/1).
Karena itu, industri tur dan travel saat ini tengah mengatur strategi agar
kebijakan yang menaikkan tarif batas bawah pesawat terbang 40 persen dari batas
atas tersebut tidak begitu berdampak pada industri. Salah satu yang disasar
adalah kerja sama pemasaran dengan hotel-hotel untuk meningkatkan kunjungan
wisatawan di Tanah Air. Apalagi, hal itu didukung dengan tingkat masyarakat kelas
menengah yang terus tumbuh.
”Kami optimistis turis domestik sudah terbiasa membeli tiket mahal. Karena
sebetulnya LCC (low cost carrier) itu jual tiket juga mahal. Kalaupun murah
paling 5-6 seat. Jadi kami masih tetap pada posisi meningkatkan penjualan produk,”
tuturnya. Di sisi lain dia mengakui pada dasarnya jika tarif pesawat terbang
naik, maka secara tidak langsung mampu mengerek margin penjualan tiket industri
tur dan travel.
”Untuk bisnis tiket justru bagus. Semakin mahal tiket, komisi bisa semakin
besar,” ujarnya. Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan
Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur M Sholeh menolak keras beleid yang mulai
berlaku pada awal Januari 2015 itu. Menurutnya, dampak bisa sangat signifikan
terhadap minat naik pesawat terbang, yang secara otomatis memicu lesunya gairah
masyarakat untuk bepergian dan menginap di hotel.
”Dampaknya kepada kedatangan wisatawan dan tingkat hunian kamar bisa turun
10 persen. Apalagi sekarang banyak maskapai yang tidak diizinkan terbang,” ungkapnya.
Sebagaimana yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang
angkutan udara melalui Bandara Juanda Surabaya mencapai 6.343.000 penumpang
selama periode Januari-November 2014.
Angka kontribusi tersebut cukup signifikan yakni 11,8 persen dari total
mencapai 53.449.800 penumpang. Jika dilihat dari tingkat kunjungan wisatawan
asing (wisman), yang melalui Bandara Juanda Surabaya sebesar 198.109 kunjungan
selama Januari-November 2014. Sedangkan apabila dilihat dari tingkat hunian
rata-rata hotel berbintang di Jawa Timur mencapai 53,24 persen pada periode
yang sama.
Sholeh mengaku, untuk mampu mempertahankan bisnis di tengah iklim yang tak
begitu mendukung, industri kini tengah mengadakan efisiensi di masing-masing
internal perusahaan. Sebab, apabila tidak menempuh langkah itu, pertumbuhan
laba industri yang diharapkan mencapai double digit tak dapat diraih. ”Sekarang
cost (biaya) naik, tapi profit cenderung turun. Melihat kondisi yang seperti
ini, mungkin pada 2015, profit industri ini hanya bisa tumbuh di bawah 9
persen,” ujarnya.(gal/aph/wir/jpnn/che/k9)
NAMA : RIDWAN NASIR
NIM : 01113136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar