Kamis, 29 Januari 2015

Dampak jatuhnya AirAsia Tiket Mahal Berdampak Panjang



CUACA buruk seolah menghantam industri pariwisata dalam setahun terakhir. Belum rampung menghadapi kebijakan pemerintah yang melarang rapat di hotel, kini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 91 Tahun 2015 tentang Tarif Batas Bawah Tiket Pesawat Terbang untuk Rute Domestik. Hingga saat ini memang banyak kalangan yang tidak setuju dengan revisi tarif batas bawah itu.
Tapi Kementerian Perhubungan tidak bergeming. Bahkan Institusi yang dipimpin oleh Ignasius Jonan mengaku tarif batas bawah yang besarnya 40 persen dari batas atas itu sudah resmi berlaku 1 Januari 2015. Artinya kini maskapai tidak bisa lagi menawarkan tiket promo. Regulasi baru itu dibuat oleh Kemenhub pada akhir bulan Desember. Tepatnya setelah insiden jatuhnya AirAsia QZ8501 jurusan Surabaya-Singapura.
Setelah revisi, pada tanggal 30 Desember 2014, aturan itu langsung dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Saat itu juga, menteri Hukum dan HAM (Menkumham) langsung membubuhkan tanda tangan tanda persetujuan. Dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2015. Salah satu alasan revisi aturan itu adalah agar maskapai lebih meningkatkan aspek keselamatan penerbangan.
Diubahnya tarif batas bawah itu terbilang tidak tepat sasaran. Seolah LCC menjadi penyebab utama jatuhnya maskapai asal Prancis itu. Padahal aspek keselamatan penerbangan tidak ada hubungannya dengan low cost carrier (LCC) atau penerbangan murah. Sebab penerbangan murah merupakan penerbangan yang dirancang seefisien mungkin namun tidak mengurangi aspek keselamatan penerbangan (lihat grafis).

Pertanyaan itu diamini oleh Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Kemenhub JA Barata. Saat dihubungi kemarin (10/1), Barata mengaku tidak ada yang keliru dengan penerbangan murah ketika ditanya soal apa yang salah pada LCC. Dia juga menolak anggapan insiden jatuhnya AirAsia QZ8501 di Selat Karimata pada 28 Desember 2014 menjadi pemicu direvisinya aturan tarif batas bawah.
Mantan juru bicara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) itu menyampaikan perubahan sudah jauh-jauh hari direncanakan. ”Jadi bukan kami reaktif, tidak,” paparnya. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh JA Barata dan Direktur Angkutan Udara Kemenhub, Mohammad Alwi pada tanggal 8 Januari lalu, keduanya menyampaikan beberapa alasan mengapa tarif batas bawah penerbangan harus dinaikkan.
Di antaranya kenaikan itu diharapkan bisa membuat maskapai mendapatkan pemasukan lebih dan pemasukan itu digunakan untuk meningkatkan keselamatan. Dalam hal ini Kemenhub menuding airlines yang mempunyai LCC kurang memperhitungkan faktor keselamatan. Alasan yang lain yaitu tingginya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.
Sehingga, Kemenhub memprediksi jika tarif batas bawah tidak dinaikkan maka maskapai tidak bisa mencukupi kebutuhan seperti sewa pesawat udara, premi asuransi, gaji awak kabin, gaji teknisi, dan biaya BBM serta perawatan pesawat. Barata mengatakan maskapai sangat perlu menjaga maintenance.
Menurut dia, sebagian besar komponen pesawat seperti mesin, servis pesawat atau pemenuhan komponen lain pembeliannya menggunakan dolar bukan rupiah. Selain itu, biaya operasional seperti sewa pesawat juga menggunakan mata uang dolar AS. ”Langkah ini juga berfungsi menjaga kesehatan keuangan airlines,” terangnya. Namun, perlu disadari kurs mata uang bisa turun dan naik.
Tergantung kondisi ekonomi dunia. Seperti halnya harga minyak dunia. Sehingga bisa saja minggu depan nilai tukar rupiah kembali menguat. Menanggapi itu, Barata mengatakan jika kurs rupiah menguat, maka peraturan itu bisa ditinjau ulang secara proporsional. Artinya batasan tarif batas bawah 40 persen dari batas atas itu bisa kembali direvisi. ”Bisa direvisi tergantung kurs,” jelasnya
Banyak yang beranggapan penetapan kebijakan baru tersebut tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat Indonesia. Pasalnya sampai kini, masih banyak masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang mengandalkan tiket murah dan tiket promo untuk bepergian. Selain itu, alasan Kemenhub lain yang membuat publik geram yaitu mereka membandingkan pesawat dengan kereta api.
Barata mengatakan sudah sewajarnya pesawat lebih malah. Dia mencontohkan penerbangan Jakarta-Surabaya yang ditempuh dengan waktu satu jam. Menurut dia tiket pesawat full service Jakarta-Surabaya Rp 1,5 juta. ”Kalau LCC kan cuma Rp 600 ribu. Artinya bersaing dengan kereta api. Hampir sama,” jelasnya. Alasan Barata itu dinilai kurang tepat
Pasalnya seharusnya pemerintah memfasilitasi semua warganya untuk mampu naik pesawat terbang. Sebenarnya dengan naik pesawat terbang masyarakat sudah mengeluarkan uang transportasi tambahan. Karena bandara selalu terletak di pinggir kota. Sehingga untuk sampai ke sana membutuhkan biaya. Berbeda dengan stasiun kereta api atau terminal bus yang ada di tengah kota.

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi menilai kebijakan Jonan sebagai langkah mundur industri penerbangan nasional. Pasalnya sejak KPPU membuka monopoli industri penerbangan pada tahun 2000, tarif pesawat bisa diturunkan hingga 50 persen. ”Sekarang malah ada upaya dari pemerintah untuk menaikkan tarif maskapai. Ini kan kontraproduktif dengan upaya kami,” ujarnya.
Dia menceritakan, dulu langit Indonesia hanya dikuasai oleh dua maskapai yaitu Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara Airlines (MNA). Tarif penerbangan saat itu sangat mahal mencapai Rp 2 juta per penumpang. Hanya orang kaya yang mampu naik pesawat. ”Tapi sejak monopoli berhasil kami buka, masuklah banyak maskapai swasta sehingga persaingan berjalan efektif. Tarif langsung turun 50 persen,” tambahnya.
Namun dia khawatir penetapan tarif batas bawah yang dibuat Menhub justru memicu tarif penerbangan kembali naik. Logikanya maskapai LCC akan mematok tarif penerbangan di kisaran tarif batas bawah yang sudah dipatok pemerintah. Sementara maskapai yang tadinya bergerak di level itu memilih naik ke harga di atasnya. ”Namanya juga medium berarti dia harus di tengah-tengah,” ujarnya.
Dalam hal ini yang dirugikan adalah konsumen alias masyarakat luas. Sebab yang seharusnya bisa menikmati tarif yang murah, terpaksa membayar lebih mahal. Padahal satu sen uang konsumen itu bisa menjadi pundi-pundi kekayaan bagi maskapai jika jumlah penumpangnya jutaan. ”Ini kan sama saja transfer kekayaan dari konsumen ke maskapai,” ungkapnya.
Nawir menilai, konsumen pada dasarnya memiliki hak penuh untuk memilih penerbangan yang disukainya. Apakah yang nyaman dengan harga mahal, atau yang kurang nyaman tetapi tetap aman. ”Itu hak konsumen jangan dirampas. Biarkan mereka memilih. Masalah standar keselamatan itu kan sudah ada aturannya sendiri, itu yang harusnya diawasi oleh pemerintah supaya maskapai patuh,” sambungnya.
Menurut dia, keputusan Kemenhub itu sangat tergesa-gesa tanpa memikirkan dampaknya yang sangat besar terhadap masyarakat luas. Kebijakan itu juga akan menghilangkan kompetisi yang fair antarmaskapai. ”Harusnya Menhub tidak mengurusi masalah bisnis sejauh itu. Kalau tarif batas atas memang kami izinkan karena ada beberapa rute yang hanya ada 1-2 maskapai, jangan sampai mereka naikkan tarif seenaknya,” jelasnya.
Ketua Asosiasi Tour dan Travel Agensi Indonesia (Asita) Asnawi Bahar, tidak menampik ada dampak negatif kebijakan kontroversial Kemenhub itu. “Pengaruh ke paket-paket tur yang mendatangkan wisatawan, kebijakan tarif ini berbahaya karena mempersulit penetapan paket tur,” tuturnya kemarin (10/1).
Karena itu, industri tur dan travel saat ini tengah mengatur strategi agar kebijakan yang menaikkan tarif batas bawah pesawat terbang 40 persen dari batas atas tersebut tidak begitu berdampak pada industri. Salah satu yang disasar adalah kerja sama pemasaran dengan hotel-hotel untuk meningkatkan kunjungan wisatawan di Tanah Air. Apalagi, hal itu didukung dengan tingkat masyarakat kelas menengah yang terus tumbuh.
”Kami optimistis turis domestik sudah terbiasa membeli tiket mahal. Karena sebetulnya LCC (low cost carrier) itu jual tiket juga mahal. Kalaupun murah paling 5-6 seat. Jadi kami masih tetap pada posisi meningkatkan penjualan produk,” tuturnya. Di sisi lain dia mengakui pada dasarnya jika tarif pesawat terbang naik, maka secara tidak langsung mampu mengerek margin penjualan tiket industri tur dan travel.
”Untuk bisnis tiket justru bagus. Semakin mahal tiket, komisi bisa semakin besar,” ujarnya. Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur M Sholeh menolak keras beleid yang mulai berlaku pada awal Januari 2015 itu. Menurutnya, dampak bisa sangat signifikan terhadap minat naik pesawat terbang, yang secara otomatis memicu lesunya gairah masyarakat untuk bepergian dan menginap di hotel.

”Dampaknya kepada kedatangan wisatawan dan tingkat hunian kamar bisa turun 10 persen. Apalagi sekarang banyak maskapai yang tidak diizinkan terbang,” ungkapnya. Sebagaimana yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang angkutan udara melalui Bandara Juanda Surabaya mencapai 6.343.000 penumpang selama periode Januari-November 2014.
Angka kontribusi tersebut cukup signifikan yakni 11,8 persen dari total mencapai 53.449.800 penumpang. Jika dilihat dari tingkat kunjungan wisatawan asing (wisman), yang melalui Bandara Juanda Surabaya sebesar 198.109 kunjungan selama Januari-November 2014. Sedangkan apabila dilihat dari tingkat hunian rata-rata hotel berbintang di Jawa Timur mencapai 53,24 persen pada periode yang sama.
Sholeh mengaku, untuk mampu mempertahankan bisnis di tengah iklim yang tak begitu mendukung, industri kini tengah mengadakan efisiensi di masing-masing internal perusahaan. Sebab, apabila tidak menempuh langkah itu, pertumbuhan laba industri yang diharapkan mencapai double digit tak dapat diraih. ”Sekarang cost (biaya) naik, tapi profit cenderung turun. Melihat kondisi yang seperti ini, mungkin pada 2015, profit industri ini hanya bisa tumbuh di bawah 9 persen,” ujarnya.(gal/aph/wir/jpnn/che/k9)

NAMA : RIDWAN NASIR
NIM : 01113136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar